Pagi ini aku mengingatmu lagi.
Apa kabarmu?
Apakah baik-baik saja?
Sedang apa kamu disana?
Siang ini aku ingin bertemu.
Sekedar berbagi menghilangkan rindu.
Berbagi cerita tentang rutinitas.
Berbagi lelah yang akan terhapus tawa.
Lihatlah gelap sudah menyelimuti alamku.
Malam ini aku masih di sini.
Sendiri seperti biasa.
Ternyata hari ini kita tak juga bertemu.
Dalam gelap ku titipkan harap.
Mungkin kita akan bertemu di penghujung malam.
Saling menyapa dalam lelap.
berbagi imaji dalam mimpi.
Maka sekali lagi, Tidurlah sayang...
25 December 2009
15 December 2009
Purnama
Bulan itu begitu sempurna. Lihatlah!
Sinarnya begitu lembut, tak akan menyakiti siapa yang memandangnya.
Begitu indah di sana bersama jutaan bintang.
Satu hal yang selalu kurindukan setiap malamnya.
Tapi akhirnya ada yang teristimewa.
Bulan yang menjadi saksi saat pertama kalinya kita bersama.
Bulan purnama itu, sekarang menjadi semakin sempurna.
Dan sejak saat itu bulan purnama akan selalu mengingatkanku kepadamu.
12 December 2009
Senja
Ntah sejak kapan ku menyukainya.
saatnya ketika matahari akan beristirahat dari singgasananya.
Senja...
Tak pernah bosan ku melihatnya.
Seolah ingin menyimpan memory dari setiap detail suasananya.
Karena senja itu hanya sekejap keberadaannya.
Senja...
Ku simpan dan ku kagumi warnanya.
satu waktu dimana ku sangat mencintai warna langit itu.
Ku ingat dan ku nikmati ketenangannya.
satu waktu dimana kesibukan terhenti.
Senja...
Tak bisakah kau selalu ada disitu.
Karena suasanamu masih akan kunikmati.
Karena keberadaanmu tanpa ku sadari selalu menenangkanku.
09 December 2009
kamu untukku, sudah cukup
Aku tak akan berpura-pura mengerti tentang cinta.
Apa itu cinta untuk setiap orang mungkin berbeda.
Tapi aku tahu cinta untukku.
Cinta dimulai ketika aku mengenalmu.
Ketika aku belajar untuk mengetahui segala tentangmu.
Ketika aku tanpa ragu membuka diriku untuk kau kenal.
Ketika aku tanpa takut kau kenal walau pada bagian terburukku, dan aku tak malu.
Tak takut untuk terus saling mengenal.
Dengan sedikit kejutan-kejutan saat mengetahuinya.
tanpa perlu malu dengan segala kekurangan.
Dan tetap berjalan disampingmu setelah mengetahuinya, begitu juga kamu.
Tak perlu ada ikatan.
Tak perlu ada kata kita.
Karena 'ikatan' dan 'kita' itu pernah memberi air mata.
Cukup kamu ada untukku dan aku untukmu.
Itu cinta untukku.
Dan saat ini, Itu sudah cukup untukku...
Mamaku seorang wanita mulia
Terinspirasi dari cerita di buku sis zabrina.
Tahukah kamu? Ternyata kita membutuhkan tiket untuk setiap hal. Untuk naik kereta kita butuh tiket. Untuk naik pesawat kita butuh tiket. Untuk masuk dufan kita perlu tiket. Untuk masuk suatu kantor, tiketnya IdCard. Bahkan untuk toilet umum pun kita perlu membayar untuk mendapat tiket masuk. Lalu untuk masuk surga apa tiketnya?
Ya Allah apa yang kubutuhkan untuk mendapat tiket menuju surga-Mu?
Mu’wiyah Ibn Jahimah ra, menuturkan bahwa dia pernah menemui Nabi saw dan berkata, ”Wahai, Rasulullah! Aku berniat pergi berjihad. Aku datang menemuimu untuk meminta nasihatmu.” Nabi bertanya kepadanya, ”Apakah ibumu masih hidup?” ”ya,” jawab Jahimah. Kemudian Nabi berkata, ”Teguhlah berbakti kepadanya karena surga terletak dibawah telapak kakinya”
An-Nasa’i
MasyaAllah, pernahkah aku tersadar betapa mulia status ibuku?
Bahkan tanpa status itu pun ternyata ibuku begitu mulia. Beliau seorang dokter yang dengan doanya kepada Allah mengharapkan kesembuhan pasien-pasiennya. Seorang wanita yang begitu mencintai sedekah. Ketika melihat seorang lelaki tua yang membersihkan masjid, hatinya tergerak untuk memberi sedekah. Untuk para tukang becak di sekitar rumah, beliau memberikan sedekahnya. Ketika melihat kakek tua berusaha menjual kerupuk di lampu merah, beliau ingin membelinya. Anak-anak yatim pun tak luput dari pemberian sedekahnya. Mungkin tiada hari tanpa sedekah baginya. Sedekah yang mendekatkannya kepada Allah.
Dan dengan status itu pun ternyata semakin aku tersadar betapa penting perempuan itu, ibuku. Beliaulah yang seharusnya menjadi prioritas hidupku. Selama ini apakah aku telah mendahulukannya? Ketika ibuku membangunkan aku untuk solat subuh, apakah aku langsung terbangun? Bahkan ketika sekarang kita tidak tinggal seatap, ibuku tetap menelponku untuk usahanya membangunkan solat. Dan masih saja terkadang ada keinginanku untuk tidak bangun dan tidak menjawab telponnya. Lalu Ketika ibuku memanggil ditengah-tengah kegiatanku, apakah aku langsung mendekatinya? Atau hanya kata ”tunggu” yang aku keluarkan? Selama ini ada dimanakah posisinya? Padahal hanya amal baik padanyalah caraku mendapatkan tiket itu.
Satu hal lagi yang aku renungkan, apakah dihari tuanya aku akan berada disampingnya? Apakah aku akan menyuapinya seperti beliau menyuapiku waktu kecil? Apakah aku akan menuntunnya seperti beliau menunutunku saat aku blom bisa berjalan? Apakah aku akan mengerti seperti beliau mengerti saat aku blom bisa berbicara? Apakah aku akan menemaninya seperti beliau menemani dan memelukku ketika aku sakit? Ya Allah, izinkan aku berada disisinya selalu!
21 tahun hidupku, Beliau menjagaku, ditambah 9 bulan masa kandungan. Beliau merasakan sakit dan lelah hanya untuk menjagaku. Lalu apa yang telah aku berikan? Pernahkan aku memberinya kebahagiaan?
Ya Allah, aku menyadarinya. Beliaulah pemegang tiketku. Apakah masih ada kesempatan untukku memberi kebahagiaan kepada pemegang tiketku? Apakah masih ada waktu yang cukup untuk selalu berbicara lembut padanya?
Terimakasih ya Allah. Engkau telah membuatku menyadarinya. Beliaulah pemegang tiketku. Beliaulah prioritasku setelah Engkau.
Buat semuanya yg baca, semoga kita masih bisa memberi banyak kebahagiaan ya buat beliau, pemegang tiket kita...
mama, i love you...
Tahukah kamu? Ternyata kita membutuhkan tiket untuk setiap hal. Untuk naik kereta kita butuh tiket. Untuk naik pesawat kita butuh tiket. Untuk masuk dufan kita perlu tiket. Untuk masuk suatu kantor, tiketnya IdCard. Bahkan untuk toilet umum pun kita perlu membayar untuk mendapat tiket masuk. Lalu untuk masuk surga apa tiketnya?
Ya Allah apa yang kubutuhkan untuk mendapat tiket menuju surga-Mu?
Mu’wiyah Ibn Jahimah ra, menuturkan bahwa dia pernah menemui Nabi saw dan berkata, ”Wahai, Rasulullah! Aku berniat pergi berjihad. Aku datang menemuimu untuk meminta nasihatmu.” Nabi bertanya kepadanya, ”Apakah ibumu masih hidup?” ”ya,” jawab Jahimah. Kemudian Nabi berkata, ”Teguhlah berbakti kepadanya karena surga terletak dibawah telapak kakinya”
An-Nasa’i
MasyaAllah, pernahkah aku tersadar betapa mulia status ibuku?
Bahkan tanpa status itu pun ternyata ibuku begitu mulia. Beliau seorang dokter yang dengan doanya kepada Allah mengharapkan kesembuhan pasien-pasiennya. Seorang wanita yang begitu mencintai sedekah. Ketika melihat seorang lelaki tua yang membersihkan masjid, hatinya tergerak untuk memberi sedekah. Untuk para tukang becak di sekitar rumah, beliau memberikan sedekahnya. Ketika melihat kakek tua berusaha menjual kerupuk di lampu merah, beliau ingin membelinya. Anak-anak yatim pun tak luput dari pemberian sedekahnya. Mungkin tiada hari tanpa sedekah baginya. Sedekah yang mendekatkannya kepada Allah.
Dan dengan status itu pun ternyata semakin aku tersadar betapa penting perempuan itu, ibuku. Beliaulah yang seharusnya menjadi prioritas hidupku. Selama ini apakah aku telah mendahulukannya? Ketika ibuku membangunkan aku untuk solat subuh, apakah aku langsung terbangun? Bahkan ketika sekarang kita tidak tinggal seatap, ibuku tetap menelponku untuk usahanya membangunkan solat. Dan masih saja terkadang ada keinginanku untuk tidak bangun dan tidak menjawab telponnya. Lalu Ketika ibuku memanggil ditengah-tengah kegiatanku, apakah aku langsung mendekatinya? Atau hanya kata ”tunggu” yang aku keluarkan? Selama ini ada dimanakah posisinya? Padahal hanya amal baik padanyalah caraku mendapatkan tiket itu.
Satu hal lagi yang aku renungkan, apakah dihari tuanya aku akan berada disampingnya? Apakah aku akan menyuapinya seperti beliau menyuapiku waktu kecil? Apakah aku akan menuntunnya seperti beliau menunutunku saat aku blom bisa berjalan? Apakah aku akan mengerti seperti beliau mengerti saat aku blom bisa berbicara? Apakah aku akan menemaninya seperti beliau menemani dan memelukku ketika aku sakit? Ya Allah, izinkan aku berada disisinya selalu!
21 tahun hidupku, Beliau menjagaku, ditambah 9 bulan masa kandungan. Beliau merasakan sakit dan lelah hanya untuk menjagaku. Lalu apa yang telah aku berikan? Pernahkan aku memberinya kebahagiaan?
Ya Allah, aku menyadarinya. Beliaulah pemegang tiketku. Apakah masih ada kesempatan untukku memberi kebahagiaan kepada pemegang tiketku? Apakah masih ada waktu yang cukup untuk selalu berbicara lembut padanya?
Terimakasih ya Allah. Engkau telah membuatku menyadarinya. Beliaulah pemegang tiketku. Beliaulah prioritasku setelah Engkau.
Buat semuanya yg baca, semoga kita masih bisa memberi banyak kebahagiaan ya buat beliau, pemegang tiket kita...
mama, i love you...
02 June 2009
Aku malu, ternyata aku tidak mengerti
Setelah sekian lama tidak menggunakan fasilitas transportasi yang satu ini, akhirnya hari ini aku naik bis lagi. Ada satu pelajaran yang aku dapat di moment itu. Satu hal yang bisa aku renungkan dari percakapan sepasang penumpang di bis itu. Sepasang ibu dan anak perempuan, ibu muda yang akan mengantarkan anaknya untuk sekolah. Ntah TK atau playgroup. Pertama kali yang dilihat dari pasangan itu, aku hanya tertarik pada anaknya. Seorang anak perempuan cantik, lucu dan gemuk. pipinya sangat membuatku gemas untuk mencium atau mencubitnya. Terus saja pendanganku tertuju pada pasangan itu, melihat tingkah pola anak yang sangat lucu. Mulai dari merengek untuk diturunkan dari pangkuan si ibu dan meminta untuk duduk di bangkunya sendiri, sampai dia merengek tidak mau sekolah. Di sini aku mulai memperhatikan percakapan mereka.
Anak : ma, aku gak mau sekolah! (sambil merengek)
Ibu : kenapa?
Anak : habis di sekolah ada teman yang suka pinjam pensil aku. Aku ga mau.
Ibu : loh, dikasih pinjam dong temannya.
Anak : ga mau. (sambil terus merengek hampir menangis)
Ibu : kalau adek pinjamin pensil ke temannya itu artinya berbagi, dan berbagi itu baik.
Anak : ga mau, nanti ga dikembaliin.
Ibu : (sambil terus membujuk, ibunya mencoba membuat anaknya mengerti) nanti temannya kembaliin. adek, kalau sekolah itu harus saling berbagi. Mungkin pensil temannya ketinggalan di rumah. Nah adek kalau punya pensil lebih dan mau pinjamin, artinya adek teman yang baik. Selain itu masih banyak yang adek harus berbagi, misalnya kamar kecil. Di sekolah adek ga punya kamar kecil sendiri, tapi satu untuk dipakai bersama teman yang lain. Nah jadi adek kalau pakai kamar kecil harus bersih, biar teman-temannya juga enak kalau mau pakai kamar kecilnya. Adek harus belajar berbagi ya!
Anak : iya, ma. (mengangguk sambil meredakan rengekannya)
Setelah beberapa saat hanya memperhatikan anaknya, akhirnya karena percakapan itu aku jadi memperhatikan ibunya. Seorang ibu muda itu memberikan satu pesan untuk anaknya hanya dari satu adegan itu. Aku langsung mikir, gimana kalau aku ada di posisi ibu itu. Menghadapi anakku yang sedang merengek seperti itu. Mungkin akan memberikan respon yang berbeda. Mungkin aku hanya akan bilang untuk pinjemin aja pensilnya, kalau ga dikembaliin nanti mama beliin lagi. Hmm... mungkin itu bukan jawaban yang salah, tapi lihat deh ibu itu. Disaat seperti itu dia malah bisa menyelipkan sedikit pelajaran berbagi untuk anaknya. Satu respon yang baik bukan? Aku jadi malu. Belom bisa jadi ibu yang baik kayanya. Untung saat ini aku belum punya anak. Heee... kalau punya apa jadinya.
Semakin aku sadar kalau seorang anak itu akan terbentuk dari nilai-nilai awal yang ibunya berikan. Sekolah untuk menjadi orang tua yang baik itu memang tidak ada. Tapi belum terlambat menurutku untuk mulai mempelajarinya. Ntah dari artikel-artikel, buku atau memperhatikan sekitar kita. Yuk, sama-sama belajar!
Subscribe to:
Posts (Atom)